Suluh Trenggalek – Viralnya ceramah Gus Miftah yang menggoblok-goblokkan pedagang es teh telah membuka pintu masuk bagi kita untuk kembali mendiskusikan posisi dan peran pendakwah di masyarakat-kalau memang tujuan mereka adalah berdakwah. Dari kejadian yang viral, dengan kontroversi dan komentar-komentar netizen yang muncul, kita bisa membangun sintesis pemikiran yang menyadarkan kita tentang bagaimana pendakwah harus dilihat.
Postingan dan komentar netizen yang menyuguhkan istilah “jualan agama” bisa jadi begitu menakutkan bagi para pendakwah. Mereka khawatir dengan istilah ini dan khawatir dengan sikap kritis netizen. Kesadaran kritis rakyat banyak akan selalu menakutkan bagi mereka yang hanya ingin rakyat pasrah saja, bersabar saja, sukuri apa adanya saja di tengah-tengah situasi kekuasaan yang tidak baik-baik saja. Korupsi dan kesombongan para pemegang kekuasaan yang masih terjadi.
Mereka ingin rakyat tunduk dan patuh, pasrah dan terima keadaan. Proyek mengobarkan janji-janji surga untuk membuat rakyat abai terhadap nasibnya di dunia yang butuh kesejahteraan dan hilang ketimpangan dibuat. Sejauh ini, rakyat memang seperti dibuat tak berdaya dalam politik. Rakyat didesain agar dalam politik mereka hanya nyoblos dan dibeli suaranya. Setelah calon terpilih, rakyat diharapkan diam saja, pasrah saja, tidak punya kekuatan kontrol pada kekuasaan, pada orang-orang terpilihnya.
Para pendakwah yang mengobral janji-janji surga, yang mengajak rakyat hanya pasrah saja, mengajak tak usaha mikirkan dunianya dengan alasan dunia tak dibawa mati, mendapatkan sokongan material politik dari para elit dan konglomerat. Seorang Gus yang saat ini sangat terkenal di pengajian rutin bahkan menceritakan bagaimana ia kedatangan pengusaha tambang dari luar Jawa yang menyumbangkan uang yang jumlahnya fantastis.
Media sosial juga tak jarang menampilkan bagaimana kedekatan seorang Gus dengan pengusaha kaya raya di daerahnya. Bahkan secara terbuka Si Gus memberikan dukungan di hadapan publik pada orang kaya yang berkontestasi di Pemilihan Kepala Daerah. Kepemilikan kendaraan mewah koleksi para Gus juga sering nongol di media sosial.
Lalu, beberapa Gus yang terkenal juga akhirnya berhasil dirangkul dalam barisan para politisi sebagai kekuatan dalam pemenangan Pemilu. Karena telah masuk dalam blok-blok politik, citra Gus akhirnya semakin berkurang dan bahkan tercoreng. Sosok Gus Miftah yang tampaknya kehilangan nama besarnya akibat dirujak netizen bisa jadi merupakan bagian dari konsekuensinya ketika ia bergabung dalam pihak yang bertarung dalam politik Pemilu 2024 lalu.
Pamornya yang kian berkurang tak lepas dari keterlibatannya dalam keberpihakan Pemilu yang nuansa pertentangannya masih terasa hingga sekarang. Apalagi dipicu oleh ulahnya yang mengoblok-goblokkan pedagang es teh keliling, nama besarnya menjadi turun secara drastis.
“Dekengan” Gus
Meskipun tak jarang mereka mengajak audiens dan jamaahnya bahwa “harta tidak dibawa mati”, para gus dan pendakwa rata-rata secara material hidupnya berkecukupan. Kekayaan harta ada pada diri pendakwah atas sumbangan orang-orang kaya raya dan politisi. Dan lucunya, untuk mengundang para pendakwah rakyat yang membentuk panitia masih menyediakan honor untuk jasa ceramah para pendakwah, bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah.
Kritik terhadap Gus Miftah yang menggoblok-goblokkan pedagang es teh pun kemudian juga memunculkan kritik terkait bertema “jangan jual agama”. Bisa jadi ini akan menjadi istilah yang tidak mengenakkan bagi para pendakwah! Setelah kejadian ceramah mengoblok-goblokkan pedagang est teh oleh Gus Miftah yang viral, kemungkinan para pendakwah saat ini saling berdiskusi tentang bagaimana agar dakwah dilakukan hati-hati, jangan sampai justru membuat para penceramah agama dibenci netizen dan rakyat.
Dan Gus Miftah juga ingin memulihkan namanya. Ia telah mendatangi Pak Sun Haji, pedagang es teh dan minuman yang digoblok-goblokkan itu. Bahkan dalam waktu dekat juga akan ada acara pengajian yang menghadirkan keduanya, Gus Miftah dan Pak Sun Haji. Sebagaimana flyer yang sudah tersebar di medsos, acara akan diadakan pada tanggal 19 Desember 2024.
Tentu sebagai “orang negara” karena telah diangkat Presiden Prabowo sebagai staf Utusan Khusus Presiden, ia didorong untuk segera mengakhiri kontroversi di media sosial yang membuat reputasinya anjlok. Sebab keberadaannya menyangkut marwah negara sebab ia kini adalah pejabat negara.
Sementara itu, rakyat (termasuk netizen) yang merasa sebagai pembayar pajak pada negara yang juga digunakan untuk memberi kesejahteraan (gaji, honor, tunjangan, fasilitas) pada Gus Miftah sebagai pejabat negara juga merasa punya hak untuk mengomentari orang yang digajinya. Ya, Gus Miftah kini adalah abdi negara, abdi dan pelayan rakyat (public server). Rakyat adalah tuannya.
Yang harus dimunculkan adalah kesadaran bahwa tanpa adanya rakyat, para pendakwah itu tidak bisa eksis. Selama ini, mereka diundang oleh panitia di suatu desa atau kecamatan atau kabupaten yang menyiapkan segalanya untuk mendengarkan ceramah mereka. Bahkan panitia tak jarang cari-cari sumbangan dan sponsor agar bisa membiayai acara yang dihadiri penceramah—bahkan sebagian biaya untuk honor (‘bisaroh’) untuk penceramah agama (Islam).
Sebenarnya dalam ajaran Islam sendiri menekankan bahwa ilmu tidak boleh dipertukarkan dengan ayat-ayat dengan uang atau upah. Dalam Al-Qur’an surat al-Syu’ara ayat 109 dinyatakan: “Aku tidak meminta upah kepada kalian (atas dakwah yang aku lakukan). Tuhan semesta alam yang akan memberiku upah.”
Kedengaran tak enak memang jika muncul istilah “jual agama”. Mungkin tidak semua pendakwah bertujuan mendapatkan upah atau uang dari jualan ceramah agama. Bisa jadi mereka tidak pernah minta upah, atau tidak mematok harga. Dan bahkan mungkin tidak minta bayaran atau semacam honor, yang kadang disebut “pengganti transport”.
Tindakan memberi sejumlah uang sebagai balas jasa penceramah yang mengisi acara di masyarakat sudah menjadi tradisi. Masyarakat sendiri merasa bahwa hal itu dianggap sebagai budaya menjaga kepantasan. Merepotkan orang, membuat orang jauh-jauh datang, tidak mungkin tidak dijamu dan diberikan balas jasa atas apa yang telah diberikan. Bahkan beberapa pendakwah juga sudah punya ‘management’. Untuk mengundang penceramah, lewatnya manajement-yang kadang kesepakatan tentang honor (“harga”) disepakati di situ.
Dengan penghasilan yang didapat dari honor menjadi penceramah itulah,para pendakwah membangun eksistensi ekonominya. Nama besar yang dimiliki membuat para politisi, partai politik, calon-calon yang akan berkontestasi membutuhkan ‘endorsement’ dan dukungan. Bahkan juga mengajak si penceramah populer untuk masuk di tim pemenangan. Dan Gus Miftah adalah satu contoh Gus yang mendukung calon yang akhirnya menang. Gus Miftahpun diberikan jabatan-setingkat menteri.
Dan ada resiko ketika seseorang tokoh masuk blok politik adalah: Ia harus siap menghadapi penilaian “like and dislike” dari netizen-termasuk buzzer politik. Dan Gus Miftah sedang mengalami serangan massif lewat kontennya bersama penjual es teh itu![]