Suluh Trenggalek – Puluhan anak muda Trenggalek berkumpul pada Minggu malam (04/08/2024) di Unfold Cafe. Sebuah diskusi bertema pemikiran kritis kaum muda digelar oleh anak-anak muda Trenggalek dari Komunitas Lentera dan Format Satu (Forum Mahasiswa Trenggalek dari UIN Satu).
Diskusi tersebut menghadirkan pemantik obrolan, sosok yang sudah tak asing di kalangan aktivis muda Trenggalek, Nurani Soyomukti, serta Insany Syahbarwati, seorang dosen dari Kampus ITB (Institute Teknologi dan Bisnis) Trenggalek. Kedua pemateri yang sama-sama mantan aktivis mahasiswa dan juga punya perhatian dalam isu-isu media dan komunikasi ini ternyata berhasil memanaskan diskusi. Hingga beberapa anak muda meminta mikrofon dan menyampaikan pendapat dan pertanyaan.
Diskusi dimulai sekitar pukul 20.00 WIB, dipandu oleh Elda Farhana, mahasiswi UIN Satu Jurusan Pendidikan PAUD yang tinggal di Desa Gador Kecamatan Durenan. Dalam sesi penyampaian materi, Nurani Soyomukti memaparkan sejarah kelahiran Indonesia mulai zaman pergerakan hingga kemerdekaan yang dipimpin oleh anak-anak muda. Ia menyebut Soekarno, Hatta, Syahrir, yang merupakan para pemimpin Indonesia yang baru merdeka dan umurnya semuanya di bawah 45 tahun.
“Syahrir ketika jadi perdana menteri umurnya 37 tahun, Amir Syarifudin umur 36 tahun, Wahid Hasyim umur 31 tahun dan Supriyadi yang diangkat jadi Menteri Keamanan Rakyat umurnya masih 22 tahun,” papar mantan komisioner KPU Trenggalek ini.
Nurani tidak lupa menganalisis kenapa saat ini peran kaum muda di jalur kepemimpinan di level nasional hingga desa kurang eksis. Salah satunya, menurut Nurani, karena politik uang yang membuat biaya politik tinggi.
“Para tua mendapat kuasa dengan uang karena mereka sudah mapan secara ekonomi dan nabungnya lebih lama. Sedangkan anak-anak muda belum berada pada kemapanan, bahkan masih minim biaya,” kata Nurani.
Sementara itu Insyani Syahbarwaty menyoroti tentang perlunya kaum muda kritis da bersuara. Ia juga menegaskan pentingnya skill bagi anak muda agar punya peran dan kemandirian. Dosen ITB Trenggalek yang juga sedang menempuh kuliah doktoral ini menceritakan bagaimana ia bisa menjalankan peran karena salah satunya menyiapkan skill.
“Sebab kalau tak punya skill, kita akan kesulitan untuk berperan dan kalau masih bingung mendapatkan peran tak bisa bersuara,” tuturnya.
Diskusi berlangsung ramai dengan lontaran pendapat dan pertanyaan dari anak-anak muda, termasuk seorang pemuda yang masih sekolah SMA. Diskusi ini merupakan acara bulanan oleh Komunitas Lentera. Pesan dari narasumber, agar konsistensi melaksanakan diskusi. “Untuk menjaga pikiran kritis”, kata Nurani.