Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Opini

Harga Cengkih dalam Cengkeraman Tata-Niaga Kapitalisme (Pasar-Bebas)!

×

Harga Cengkih dalam Cengkeraman Tata-Niaga Kapitalisme (Pasar-Bebas)!

Share this article
Harga Cengkeh dalam Cengkeraman Tata-Niaga Kapitalisme (Pasar-Bebas)!
Foto Nurani tengah membaca buku terkait petani cengkih -Dok. Istimewa

Suluh Trenggalek – Banyak pertanyaan yang mencul dari teman dan saudara, termasuk di komentar media sosial ketika saya memposting berita yang berjudul “Musim Panen Raya, Harga Cengkih Trenggalek Mulai Anjlok” di Suluhtrenggalek.com. Salah satu pertanyaannya adalah bagaimana solusi mengatasi hal itu.

Menurunnya harga cengkih saat musim panen mulai dijelang khususnya oleh para petani yang mengelola area hutan di kecamatan Watulimo tererkspresikan lewat postingan-postingan mereka di media sosial, salah satunya yang paling ramai adalah di grup Kecamatan Watulimo Bersatu (KWB).

Tanggapan yang saya buat ketika ditanya bagaimana solusi menghadapi harga cengkih yang anjlog tentunya normatif. Yang bisa dilakukan agar hasil panenan bisa lebih menghasilkan uang lebih banyak adalah strategi penundaan penjualan: Menunda menjual cengkih, hingga melakukannya saat cengkih sedang berada dalam harga yang tinggi. Tentunya, kalau cengkeh sudah terlanjur dipetik, dikeringkan dulu lalu disimpan (ditimbun).

Tetapi di sini yang akan dihadapi adalah dua hal: pertama, ketidakmenentuan harga dan waktu; dan kedua, biaya yang telah dikeluarkan untuk memanen serta kebutuhan akan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Petani tidak tahu kapan harga cengkeh akan tinggi, berapa hari lagi, berapa minggu lagi, berapa bulan lagi. Dan dalam hal ini kita semua tentu bertanya siapa yang menentukan harga cengkih dan kapan perubahan harga ditentukan?

Maka yang harus dijawab adalah soal bagaimana tata-niaga cengkih mulai dari petani hingga ke pabrik rokok ini dan bagaimana mereka menentukan harga. Tentu ada hukum besi dalam sebuah tata-niaga kapitalistik yang tujuannya adalah untuk mencapai keuntungan. Tinggal seberapa besar keuntungan yang akan didapat (dicapai) dan apakah pencari untung sendiri bisa memperkirakanya?

Hukum pasar-bebas berlaku. Tetapi semua pihak yang berhubungan ini tidak bisa memperkirakan dan mengetahui secara utuh fakta yang terjadi dari hulu ke hilir. Apalagi ketika berhadapan dengan keinginan dan selera. Keinginan pihak yang ingin mendapatkan hasil dari panen, yang cari keuntungan, dan termasuk yang paling akhir adalah di pabrik rokok yang akan memproduksi rokok. Harga cengkeh yang mereka beli dari penyetok dan pengepul akan ditentukan oleh pertimbangan produksi dan pemasaran rokok mereka.

Apakah produksi mereka lancar, ataukah rokok yang dibuat pemasarannya bagus? Ataukah bagaimana mereka mengendalikan keinginannya untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari usaha menjalankan perusahaan rokok yang untungnya besar dan ingin meningkatkan keiginannya terus. Para petani dan mungkin dinas pertanian sekalipun, tidak bisa mengukur dan mengendalikan mereka.

Saya sendiri tidak mampu mendata bagaimana ikhwal percengkehan ini. Tetapi mungkin dinas pertanian yang orang-orangnya ditugasi untuk memperjuangkan kesejahteraan petani punya basis data, misal berapa jumlah pohon cengkeh yang dimiliki warga yang merupakan penduduk kabupatennya, berapa kira-kira perkiraan volume panen cengkeh pada musim raya ini.

Dinas perdagangan mungkin juga akan peduli untuk mengetahui berapa miliar omset penjualan cengkeh tersebut dan bagaimana dampak ekonominya bagi masyarakat. Akan menarik misalnya jika pemerintah serius untuk mengumpulkan data dengan melakukan riset untuk bahan kajian bagi pembuatan kebijakan ke depannya.

Meskipun saya juga tidak yakin bahwa pemerintah tidak bisa mengendalikan harga. Berbeda dengan harga kebutuhan pokok, harga-harga hasil pertanian seperti cengkih tak pernah lagi ditetapkan harga nominalnya oleh negara-seperti era Orde Baru ketika membuat BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh). Meskipun pada akhirnya monopoli dan korupsi pada badan yang didominasi keluarga Soeharto itu sendirilah yang merusak harga dan menghancukan dunia percengkihan.

Wawasan dan pengetahuan soal tata-niaga, terutama dinamika harga cengkeh, pernah saya dapatkan secara gamblang langsung dari pedagang/pengepul cengkeh. Kira-kira tahun 2017, saya pernah melakukan wawancara terhadap pengepul cengkih ketika waktu itu saya sedang mengantar seorang teman dari Yogyakarta yang melakukan penelitian tentang cengkih di beberapa kota, salah satunya Trenggalek.

Itu adalah sebuah riset yang dilakukan oleh Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), yang kemudian hasil penelitiannya diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul “Menelisik Penghidupan Petani Cengkeh: Kaji Kasus Lima Propinsi” (2017). Kebetulan untuk Jawa Timur yang menjadi area penelitian adalah Pacitan dan Trenggalek.

Waktu itu saya dilibatkan sebagai relawan yang ikut wawancara di area Panggul, Dongko, Munjungan dan Watulimo, serta ikut membantu menulis hasil wawancara. Upaya untuk menarasikan tentang sejarah dan dinamika kehidupan orang-orang yang mendapatkan manfaat dari cengkih menjadi bagian dari kegiatan itu.

Dari obrolan dengan pengepul, ada informasi penting dalam perdagangan cengkeh, yaitu bisa dipastikan bahwa harga cengkih itu sifatnya dari hilir ke hulu. Artinya, harga ditetapkan dari pedagang cengkih besar yang jadi pemasok pabrik rokok kretek. Harga patokan tertinggi (plafon, ceiling price) ditetapkan lalu diinformasikan pada para pedagang di bawahnya dan pengepul.

Misal, ketika waktu itu pemasok pabrik rokok dalam suatu musim panen menetapkan harga patokan Rp 118.000 per kilogram, berdasarkan harga itulah para pengepul akan menetapkan harga yang akan diinfokan pada petani cengkeh. Misalnya, memberi informasi bahwa mereka akan membeli cengkih dari petani sebesar 102.000-111.000 per kilogram. Jadi, harga patokan dari pedagang pemasok pabrik rokok dikurangi 6-12%.

Para pedagang atau pengepul yang membeli barang dari petani belum tentu bisa langsung menjual cengkih pada pedagang pemasok pabrik rokok. Pedagang dan pengepul jumlahnya banyak. Pengepul kecil-kecil jumlahnya lebih banyak. Sebab yang punya akses lebih dekat dengan pemasok pabrik rokok tentu semakin sedikit. Pak Lurah Tawing, seorang pemasok stok cengkih dari Munjungan yang kami wawancarai waktu itu, adalah salah satunya.

Pedagang cengkih bisa mendapatkan barang di Pasar. Tapi orang seperti Pak Lurah Tawing tinggal menunggu di gudangnya, yang letaknya di sebelah rumah agak belakang. Pedagang-pedagang kecil akan datang padanya untuk menjual cengkih yang dibeli dari petani cengkih. Ia sendiri juga punya lahan cengkih beberapa hektar. Punya tenaga perawat kebun, serta merekrut banyak pemetik dan ‘pemitil’ saat musim panen.

Pemetik cengkih adalah orang yang memetik cengkih dan gagangnya yang berada di pohonnya. Mereka justru direkrut dari luar kecamatan penghasil cengkih. Pak Lurah yang punya kebun luas ini mengatakan bahwa tiap musim panen, pekerja pemetik cengkihnya berasal dari daerah Pule, Karangan, Dongko, dan lain-lain.

Sedangkan ‘pemitil’ adalah orang yang memisahkan buah cengkih dari gagangnya. Mereka rata-rata adalah anggota keluarga sendiri atau saudara, juga tetangga. Tapi bagi yang punya cengkeh banyak seperti Pak Lurah Tawing ini, pekerja ‘pemitil’ juga bisa datang dari luar lingkungannya. Bahkan juga dari luar kecataman. Termasuk istri pekerja pemetik yang diajak.

Pekerja yang datang dari luar kecamatan ini difasilitasi tidur dan makan di rumah pemilik kebun cengkih. Upah yang didapat, Rp 150.000 perhari sudah bersih. Sedangkan untuk ‘pemitil’, dapat Rp 1.500 hingga Rp 4.000 perkilogram buah cengkeh basah yang berhasil ia pisahkan dari gagangnya.

Keberadaan cengkih tentu saja bukan hanya memberikan rejeki bagi pemilik pohon cengkih, pekerja pemetik dan pemitil saja. Kebutuhan akan tangga panjat yang digunakan untuk memanjat memuju cengkih yang pohonnya jauh lebih tinggi daripada manusia juga memberikan rejeki bagi para pembuatnya.

Pembuat tangga panjat tak hanya memproduksi barang itu saat ada pesanan. Tetapi juga memproduksi dan menjualnya meskipun belum ada pesanan. Harga per unitnya antara Rp 65.000 hingga Rp 100.000, tergantung besar dan tingginya tangga yang dari bambu itu.

Ada pula jasa buruh angkut yang rata-rata per hari mendapatkan Rp 50.000. Selain itu juga muncul pencari daun cengkih sebagaimana saya kisahkan di atas. Keberadaannya memang muncul karena adanya usaha memproduksi minyak daun cengkih yang dibuat melalui penyulingan.

Itu kisah tahun 2017. Mungkin untuk saat ini upah buruh petik cengkih, pembantu “pitil” cengkih, harga tangga (‘ondo’), mugkin sudah naik. Tapi yang jelas bahwa harga cengkih akan tetap naik-turun. Dan ketika panen raya, karena stok terlalu banyak, penurunan harga cengkih akan cenderung terjadi. Tentunya, penurunan harga cengkih jangan sampai terlalu drastis, dan kalau bisa memang tinggi.

Bagaimanapun, ketika kita menyarankan, misalnya, agar petani menunda penjualan, itu bukan pilihan yang mudah dan tak gampang. Bagaimana banyak yang mampu untuk tidak segera menjual cengkih. Pertama, mereka sudah menunggu-nunggu panen cengkih sebagai harapan untuk mendapatkan uang.

Bisa jadi mereka sudah tidak punya uang lama atau malah punya utang yang harus dikembalikan dan masa pengembalian (atau pencicilannya) diandalkan dari musim cengkih. Menunda untuk menjual cengkih jelas tak bisa dijadikan pilihan. Apalagi malah ada kekawatiran, kalau cengkih tidak segera dipetik dan dijual, malah akan semakin anjlok.

Kedua, jangan dikira petik cengkih dan “pitil” cengkih itu tidak mengeluarkan biaya. Tenaga dan uang untuk upah bagi yang membantu atau dipekerjakan juga harus dibayar. Kalau cengkih tidak dijual langsung, biaya sudah banyak dikeluarkan. Biaya untuk bensin dan bekal (makanan) untuk menuju ke kebun yang letaknya jauh dari rumah. Setelah tenaga dan biaya dikeluarkan, cengkih harus ditukar dengan uang sebagai sumber penghasilan-apalagi uang dalam pegangan sudah dikeluarkan untuk biaya.

Bagi yang punya modal (kapital) besar, kebun luas, yang punya modal untuk biaya beli lahan dan upah para pekerja, mungkin mereka relatif lebih aman. Bisa jadi pedagang besar sekaligus pemilik kebun yang bisa jadi cukup luas. Tapi untuk para petani kecil, dampak anjlognya harga cukup memberi daya pukul yang kuat bagi nasib mereka.

Saya tidak mampu memberikan solusi soal hal ini, apalagi saya bukanlah pihak yang berwenang. Tapi setidaknya sedekah pengetahuan tentang tata-niaga dan kehidupan percengkehan di Trenggalek, khususnya area Watulimo dan sekitarnya, tulisan ini jika berkenan membaca dan menghayatinya, dapat dikatakan sebagai kepedulian saya terhadap warga petani cengkih, termasuk dulur-dulur saya sendiri yang saat saya menulis ulasan ini juga sedang memisahkan cengkih dari gagangnya.

Salam!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *