Suluh Trenggalek – Pernyataan Calon Wakil Bupati (Cawabup) Syah Natanegara-pasangan Muhammad Nur Arifin tentang kegaiban kotak kosong menuai kritik. Sayangnya kritik yang dilontarkan lebih bernada subjektif. Misalnya ada yang mengatakan bahwa pernyataan tersebut mencederai kesadaran politik masyarakat Trenggalek.
Ada juga yang menganggap bahwa pernyataan Syah (nama panggilan Cawabup Syah Natanegara) mengecilkan pilihan yang sah dalam demokrasi. Mereka berpandangan bahwa mengatakan kotak kosong sebagai hal gaib sama saja dengan menganggap pilihan rakyat itu-memilih kotak kosong-sebagai lelucon.
Tulisan ini berusaha untuk melontarkan pemahaman saya tentang hal ikhwal kotak kosong dan kegaibannya. Tentunya pertanyaan yang ingin saya jawab adalah, pertama, soal kegaiban kotak kosong. Dan yang kedua yang ingin saya bahas adalah soal kampanye kotak kosong.
Istilah ‘Gaib”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “gaib” punya beberapa arti. Di antara artinya adalah [1] tidak kelihatan; tersembunyi; tidak nyata [2] hilang; lenyap [3] tidak diketahui sebab-sebabnya (halnya dan sebagainya).
Jika dikaitkan dengan pasangan calon kotak kosong yang tidak ada pasangan calonnya (tanpa dua orang yang ditetapkan sebagai calon), memang benar bahwa kotak kosong itu gaib. Calonnya memang tidak kelihatan. Di kotak tidak ada orangnya, fotonya, partai pendukungnya. Yang tidak ada partai pendukungnya biasanya adalah Pasangan Calon (Paslon) independen. Tapi bakal paslon independen tidak lolos.
Memang, kotak kosong bukanlah suatu makna politik yang kosong, karena tetap bisa dipilih. Secara maknawi iya. Makna adalah wilayah subjektif. Tapi siapakah pemilih kotak kosong? Ya memang tidak kelihatan. Belum ada yang memilih. Dan meskipun nantinya sudah ada pencoblosan sekalian, tidak juga kelihatan kecuali pemilihnya deklarasi bahwa dia baru mencoblos kotak kosong dengan menunjukkan jari kelingkingnya yang berbalut tinta.
Tapi memberitahukan pada publik tentang pilihan dianggap bertentangan dengan asas Rahasia. Hal itu tidak jamak dilakukan. Kalau ada yang melakukan sekalipun, mungkin hal itu dianggap aneh. Artinya, kotak kosong adalah kotak yang tidak kelihatan orangnya (paslonnya). Pun juga tak kelihatan pemilihnya untuk saat ini.
Artinya, ya benar bahwa kotak kosong itu adalah gaib. Tapi percaya pada hal yang gaib tidak dilarang. Seperti percaya dalam hal keagamaan dan suatu yang mistis, percaya pada hal gaib adalah bagiannya. Percaya pada kotak kosong dan akan memilihnya juga merupakan “iman” yang diperbolehkan. Terutama bagi yang suka pada hal gaib-gaib, hal itu mungkin akan menjadi sebuah ritual yang menyenangkan.
Tidak nyata! Ya, tentu saja. Paslon di kotak kosong tidak nyata. Karena yang tidak ada memang tidak nyata. Dalam hukum materialisme dialektika, yang tidak nyata adalah sesuatu yang tidak ada. Memang, tidak ada pasangan calonnya.
Bagaimana soal para calon pemilih yang akan menyoblos kotak kosong? Ya itu nanti saat penghitungan suara. Tapi itu bukan hanya milik kotak kosong. Sangat mungkin mereka nyoblos kotak kosong bukan karena mereka memperjuangkan kotak kosong. Bisa jadi intinya adalah sebagai bentuk pemberian suara untuk tujuan lainnya.
Beberapa tujuan orang memilih kotak kosong tidak bisa dianalisa dengan pasti. Kenapa tidak pasti? Karena itu menyangkut motivasi seseorang. Motivasi adalah objek kajian ilmu sosial, terutama psikologi. Bukan bidangnya ilmu matematika. Ilmu matematika saja sebenarnya juga urusan yang tak pasti. Buktinya jumlah terbanyak dalam ilmu matematika adalah “bilangan tak terhingga”. Lha, tak terhingga itu lho juga bukan hal yang pasti.
Apalagi kalau kita belajar filsafat, 1+1 sebenarnya bukan 2. Tapi kira-kira atau kurang lebih dua. Karena matematika adalah ilmu yang banyak didominasi logika. Itupun logika formal ala Aristotelian. Matematika tidak bisa menjelaskan kenyataan secara baik. Yang bisa memberikan penjelasan terbaik soal hidup-khususnya fenomena sosial, apalagi fenomena politik-adalah materialisme-dialektika.
Materialisme dialektika jelas mengatakan bahwa yang gaib adalah hal yang tidak ada. Yang ada itu sifatnya material dan yang material merupakan suatu hal yang terbagi dari hal-hal kecil yang saling berkaitan. Suatu materi selain terbagi dalam materi-materi kecil yang berkaitan, juga bisa jadi merupakan bagian dari hal-hal yang lebih besar.
Nah, kotak kosong jelas pasangan calonnya tidak ada. Gaib. Tidak nyata. Tak kelihatan. Pernyataan Syah tidak salah. Kenapa? Karena ia memang bicara soal pasangan calon. Dia tidak bicara soal pemilih atau tidak bicara soal sesuatu di luar kotak kosong.
Apakah Syah tidak tahu bahwa ada masyarakat yang menyuarakan kotak kosong? Saya yakin dia tahu. Tapi dia tidak sedang bicara itu ketika menilai soal kegaiban kotak kosong. Ada tidaknya suara kotak kosong sebagai hasil pencoblosan nanti, di sanalah nanti bisa dilihat. Di sanalah ilmu pasti, ilmu hitung-hitungan nanti akan digunakan. Di sanalah pendukung kotak kosong kelihatan.
Tapi fiks bahwa kotak kosong itu tak kelihatan orangnya alias tak ada orangnya, itu sebuah fakta yang tak dibantah. Syah tidak salah ketika bicara soal kegaiban itu. Persoalan dia mengatakan bahwa kotak kosong itu gaib dengan tujuan kampanye, ya itu juga malah bagus. Karena ia menggunakan haknya sebagai calon untuk berkampanye. Dia punya hak mengajak agar warga tidak memilih kotak kosong yang gaib.
Kampanye Kotak Kosong?
Mereka yang menolak pandangan Syah soal kegaiban kotak kosong bisa jadi berangkat dari keresahan mereka soal demokrasi di situasi Pilkada calon tunggal-melawan kotak kosong. Apakah keresahan itu berlebihan atau tidak, saya tak ingin membahas itu dulu.
Mari kita bahas dulu soal soal kampanye kotak kosong.
Hal yang sebenarnya harus dipahami adalah bahwa pernyataan Syah tentang kegaiban kotak kosong adalah hal yang biasa, yang merupakan bagian dari kampanye. Menegasikan keberadaan lawan (kotak kosong) merupakan bagian dari kampanye.
Akan terlalu lucu jika sebuah pernyataan dari suatu ujaran kampanye ditanggapi begitu emosionalnya. Atau bisa jadi sebenarnya bukan emosi, tapi ya justru menggunakan pernyataan Syah sebagai bahan untuk sebuah opini saja. Ini namanya “negasi dari negasi”-salah satu hukum yang menarik dari filsafat Materialisme Dialektika Historis.
Salah satu hukum dari dialektika adalah ‘hukum negasi dari negasi’. ‘Negasi’ dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu, kematian suatu benda karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang lain. Sadar atau tidak, seringkali kita ingin menghidupkan sesuatu dengan cara menegasikan hal lain. Ini sebenarnya hal yang wajar saja.
Syah ingin memenangkan dirinya. Automatically, ia juga ingin mengalahkan lawannya. Sebaliknya, seseorang yang ingin memenangkan kotak kosong, pasti tanpa bicara soal kekalahan calon tunggal sekalipun, hal itu akan berkonsekuensi pada kecenderungan mengalahkan kotak kosong.
Bingkainya adalah kontestasi. Tujuan kontestasi adalah menang. Karena ada yang menang, pasti ada yang kalah. Yang ingin menang secara otomatis-baik diungkapkan atau tidak-tentunya menginginkan lawannya kalah. Ipin dan Syah tak perlu sering bicara, “Kita harus mengalahkan lawan kita!”
Mungkin itu akan disampaikan pada tim-timnya secara tertutup. Tapi misalnya ia ingin bicara seperti itupun sesering mungkin dan secara terbuka juga tidak ada masalah-bukan suatu yang dilarang karena tak bernada ujaran kebencian. Apalagi lawannya “bumbung” kosong.
Sebaliknya, sebagai bagian dari hukum dialektika (‘negasi dari negasi’), siapapun yang menyuarakan kotak kosong, secara otomatis dia akan bicara soal lawannya-dalam bentuk negasinya. Makanya, mau tak mau, para pendukung kotak kosong, juga melakukan penggiringan opini dan framing untuk menegasikan calon tunggal. Jadi tak mengherankan, tulisan tentang ketidaksetujuan terhadap pernyataan sah yang menegasikan kotak kosong, mau tak mau juga diisi dengan tulisan kejelekan pemerintahan paslon tunggal (di mana Syah adalah bagiannya).
Maka, tulisan dan omongan tentang kesalahan pernyataan Syah tidak akan berhenti pada mengungkit istilah “gaib” untuk menggiring opini betapa salahnya pemahaman Syah tentang hal Gaib. Dan itu adalah urusan receh. Itu hanya menjadi pintu masuk saja untuk membicarakan Syah dan Ipin juga. Maka, yang mau dibicarakan sebenarnya adalah keburukan calon tunggal yang merupakan petahana.
Dan pada akhirnya, tulisan dan omongan itu juga menjadi bagian dari kampanye-karena musimnya memang kampanye. Bahkan ketika saya membuat dan menyebarkan tulisan ini, juga sangat mungkin masuk pada penafsiran kampanye. Fortunately, sayapun sudah tak ada larangan beropini dalam situasi kontestasi.
Opini yang menyatakan ketidakberhasilan pemerintah Ipin-Syahpun sebenarnya juga akan muncul ketika ada paslon penantang. Bahkan misalnya seandainya bakal pasangan calon perseorangan kemarin lolos, bahkan akan muncul serangan atau opini “menegasikan” lawan. Karena kampannye memang kurang asik jika tidak ada “negasi”. Makanya, pengertian “negative campaign” itu merupakan hal yang tidak begitu jelas ukurannya.
Tapi yang menarik, setidaknya para pengritik terhadap pernyataan Syah soal kegaiban kotak kosong telah mewarnai kampanye Pilkada Trenggalek. Sebagian kalangan yang sangat ingin memperjuangkan kotak kosong-lepas dari apapun kepentingannya-sangat merasa terwakili karena telah dibantu kampanye. Bakal calon pasangan calon perseorangan yang kemarin gagal maju karena tidak memenuhi syarat dan pendukungnya setidaknya juga merasa senang karena masih ada lawan secara opini terhadap petahana.
Karena memang kalau tidak ada opini dan counter-opini, entah itu masuk dalam “frame” kampanye atau bukan, sepertinya demokrasi kurang menarik. Ada yang bilang: edukasi politiknya kurang.
Meskipun sebagian pendukung kotak kosong sudah ada yang membuat aksi kirim doa di makam beberapa waktu lalu untuk menandai bahwa mereka percaya pada hal-hal gaib, setidaknya mereka tidak ingin “kegaiban” kotak kosong-kotak tanpa wajah, nama, dan tanpa dokumen visi-misi itu-itu tidak punya kekuatan. Kekuatan ini dibutuhkan sebagai upaya memunculkan pengaruh dalam ruang politik “negasi dari negasi” di masa kampanye ini.
Maka kritik terhadap Syah, atau terhadap Ipin, atau terhadap keduanya sebagai pasangan calon yang merupakan lawan kotak kosong, bisa kita maknai sebagai bentuk-bentuk kampanye kotak kosong. Upaya itu merupakan ikhtiar yang wajar ketika kotak kosong sendiri tak mampu untuk melakukan kampanye secara massif karena cantolan politiknya kosong karena tidak ada paslonnya.
Kenapa kotak kosong cenderung minim dukungan? Salah satunya karena cantolan formalnya secara ideologis dan politik nihil. Saya mengistilahkan cantolan formal karena secara formal kontestasi akan kuat jika ada orangnya, yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kemudian ditetapkan jadi paslon yang sah.
Tidak ada dokumen visi-misi yang bisa dibaca masyarakat. Tidak ada orangnya, maka tidak ada visi-misi yang dibuat. Sejauh ini saya juga belum membaca visi-misi terstruktur dan sistematis dari para pendukung kotak kosong-jika mereka secara serius ingin mengalahkan calon tunggal.
Juga tidak ada yang hadir di panggung debat publik. Sehingga yang mewakili mereka adalah warga masyarakat yang mendukung kotak kosong dengan berbagai cara dan metode. Bisa individu atau kelompok yang melakukan penyebaran opini dan “kampanye” lewat tulisan-tulisan dan diskusi-diskusi, lewat tatap muka atau lewat media (termasuk media sosial).
Setiap warga yang diberikan hak informasi oleh kontitusi dan undang-undang, salah satunya hak menyebarkan informasi dan opini, bisa mengeluarkan ide dan gagasan dalam ruang demokrasi elektoral ini secara bebas. Sedangkan, pasangan calon diberikan fasilitas oleh Negara untuk melakukan kampanye sebagaimana diatur oleh undang-undang dan peraturan. Mereka sudah membuat visi-misi yang bisa diakses masyarakat. Mereka juga terus melakukan kampanye termasuk diberikan panggung sosialisasi debat publik dengan tanpa lawan politik karena mereka adalah calon tunggal.
Maka, yang bisa dilakukan pendukung dan “juru kampanye” kotak kosong adalah menanggapi visi-misi dan apa yang disampaikan oleh paslon tunggal itu. Di sinilah, fenomena “negasi dari negasi” akan menarik. Para pendukung kotak kosong bisa menyiapkan tulisan-tulisan dan bahan kampanye mulai sekarang.
Para pemilik media bisa meramaikannya mulai sekarang. Karena semakin ramainya panggung obrolan dan diskusi, rating media juga akan kian ramai. Yang bisa membuat ‘viewer’ meningkat. Yang akan meningkatkan frekuensi “klik” secara massif yang bisa berbuah keuntungan bagi media berbasis “klikbait”.
Selamat berdemokrasi!*