Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Opini

Istana-Centrisme Budaya dalam Karnaval: Biaya Besar dan Normalisasi Ketimpangan Kelas Sosial!

×

Istana-Centrisme Budaya dalam Karnaval: Biaya Besar dan Normalisasi Ketimpangan Kelas Sosial!

Share this article
Istana-Centrisme Budaya dalam Karnaval: Biaya Besar dan Normalisasi Ketimpangan Kelas Sosial!
Ilustrasi karnaval budaya-Dedy_Timbul-Pixabay

(Catatan untuk Karnaval Trenggalek 2024)

Suluh Trenggalek – Dulu waktu karnaval, saya pilih jadi petani atau pejuang. Hanya bermodal celana dan baju hitam pinjaman kakang dan pakde, ditambah caping. Atau kalau jadi pejuang hanya bermodal pohon tebu lancip atau bambu yang ujungnya diruncingi, ditambah cat merah putih. Waktu itu saya belum mikir biaya. Hanya saja memang saya paling tidak suka di make-up. Wong waktu nikah dan temu manten saja, saya memaksa agar wajah saya tanpa make up sama sekali.

Tadi nonton Karnaval di Kota Trenggalek. Ngobrol-ngobrol sama penonton lain, terutama seorang pejabat di sebuah instansi yang menunggu anaknya di dekat finish. Obrolan sampai pada biaya yang dikeluarkan untuk Karnaval. Saya baru tahu bahwa biaya jadi Raja dan Ratu bersama kereta tunggangan yang biayanya belasan juta, bahkan puluhan juta.

Saya kira hanya honor atau bisaroh Gus-gus atau para kiai terkenal yang segitu besarnya. Kalau habis biaya tampil karnaval 20 juta, uang sejumlah itu tentunya adalah jumlah uang yang tak mungkin dikumpulkan oleh sebagian besar orang yang bekerja satu tahun. Atau bahkan jarang juga yang kerja selama dua tahun mampu mengumpulkan uang sebanyak itu.

Dan memang, menurut informasi yang saya dapat, dan pengetahuan ini sudah umum, yang jadi raja dan ratu rata-rata memang anak-anak orang berpunya, baik para pejabat maupun para pengusaha-atau kalau tidak ada satu atau dua yang bukan pejabat dan pengusaha yang memaksakan anaknya tampil jadi ikon, jadi tampan dan cantik saat acara karnaval. Sebab ada juga meskipun orang tidak punya biaya, tapi memaksakan diri untuk kejar gengsi.

Secara umum, para pimpinan sekolah dan guru memang juga sudah memahami keadaan ini: Ketika mereka memilihkan peran murid-muridnya di Karnaval, mereka juga akan melihat latarbelakang orangtua murid. Yang anaknya pejabat, diberi peran raja atau ratu atau peran-peran yang butuh biaya besar. Sedangkan anak orang miskin seperti saya dulu, tentunya akan mendapatkan peran di Karnaval yang biayanya minim atau tak berbiaya sama sekali.

Guru saya dulu sudah amat pas kalau memilih saya sebagai petani. Memilih peran sesuai keadaan dan kemampuan.

Menurut saya itu adalah kebijakan di tengah-tengah situasi dan sistem sosial berkelas yang ada. Pimpinan lembaga sekolah dan para guru memahami bahwa masyarakat kita terbagi jadi kelas-kelas sosial. Dan, sayangnya, mereka, yang tak pernah memikirkan bahwa terciptanya kelas sosial dan ketimpangan ini sebagai problem masyarakat ini, ya merasa nyaman-nyaman saja.

Kalau saya termasuk warga yang tetap berharap bahwa ketimpangan kelas di masyarakat akan hilang, kalau tidak ya semakin sempit. Saya berharap negara bisa mentransformasi kepemilikan dan kekayaan masyarakat agar lebih merata. Pasti ada caranya kalau mau. Negara punya wewenang besar kalau memang para pemimpin dan pejabatnya, termasuk pengambil kebijakan, punya visi-misi keadilan sosial, punya pemikiran yang sosialistik sebagaimana dasar negara kita.

Karnaval sebenarnya juga mencerminkan bagaimana pelanggengan kelas sosial itu dinormalisasi. Anak-anak orang berpunya jadi raja dan ratu, duduk dengan senyum manis, di atas kereta dan maket yang dijalankan dengan kendaraan (mobil), atau naik kuda. Dalam tradisi feodal, mereka adalah raja dan ratu yang harus disembah oleh rakyat jelata, hidup di istana yang terdiri dari bangunan-bangunan luas dan indah, dengan taman dan air mancur. Dengan makanan yang enak-enak, dengan harta yang bertumpuk, yang didapat dari kerja rakyat jelata yang setor upeti. Juga dari tanah luas yang dimilikinya, yang digarap oleh para pekerja dan abdi.

Dan Karnaval yang terlampau Istana-Centris ini sebenarnya paling tidak menarik bagi saya. Kenapa pikiran orang harus dikonstruksi sedemikian rupa dengan parade budaya yang istana-centris dan membuat sejarah terus menormalisasi cara pandang diskriminatif: Yang kaya harus dihormati, yang miskin dan jelata harus mengikuti dan menonton.

Istana-centris sebenarnya adalah cara pandang atau ideologi yang menempatkan istana sebagai pusat sejarah dan penentu peradaban manusia. Dan ini adalah ideologi keliru. Kenapa demikian? Faktanya, sejarah itu dibangun oleh kelas pekerja, buruh, tani, dan mereka yang secara konkrit bekerja (kelas pekerja). Dalam masyarakat yang struktur politiknya kerajaan (monarki) dan struktur ekonominya Feodal, kelas pengusas (raja dan tuan tanah), menghisap kelas pekerja, yaitu para petani hamba. Sedangkan dalam msyarakat kapitalis, pemilik modal mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara salah satunya adalah memberi upah buruh seminim mungkin.

Faktanya, tanpa ada kerja buruh, majikan (kapitalis, pemodal) tidak bisa membuat produk. Artinya, meskipun ada modal (kapital), ada bahan mentah, ada mesin/teknologi, tanpa ada (tenaga) kerja manusia atau buruh, proses produksi tidak jalan. Makanya, di sini sangat jelas bahwa KELAS PEKERJA adalah soko guru dan elemen paling kunci dalam perjalanan sejarah umat manusia terutama yang digerakkan oleh ekonomi (proses produksi).

Demikian juga para petani sebagai kelas pekerja. Tanpa petani, akan banyak orang yang tak bisa makan. Terutama para pejabat dan pengusaha yang tak mau menanam. Petani dengan tanamannya ternyata tidak ditampilkan sama sekali dalam barisan Karnaval. Berbeda dengan jaman saya kecil, masih ada yang ‘macak’ sebagai petani. Karnaval era kini tampaknya mencoret kaum tani dari peran yang diparadekan dalam karaval. Lembaga pendidikan tampaknya hanya sibuk pada tampilan yang istana-centris, maskot, cantik-cantikan, goyang, dan kesenian.

Ada maket tumpeng yang dipikul oleh anak-anak, yang berada di belakang raja dan ratu yang senyum-senyum di atas kereta dan kuda. Tumpeng itu bahkan dihiasi sayur-sayuran seperti Kacang Panjang, Wortel, Terong dan beberapa jenis sayuran. Tapi lucunya tidak ada barisan petani. Lha memang adanya beras yang jadi tumpeng dan sayur itu siapa yang menanam?

Dari konteks bagaimana Karnaval menempatkan elemen-elemen sosial historis dalam masyarakat, tampaknya saat ini kita kalah jauh dengan jaman dulu. Jaman Sukarno, pernah ada parade para buruh tani, dan hasil tani seperti Ketela yang sangat besar, hasil panen terbaik, padi, sayur-sayuran, ‘Raja Kaya’, dan tampilan para petani dan peternak. Juga jaman Orde Baru, yang menamakan Karnaval sebagai Pawai Pembangunan. Ada banyak orang ‘macak’ tani, nelayan, tukang, dan elemen kelas pekerja. Cara mereka memahami sejarah masyarakat, dengan menghormati kehadiran kelas pekerja, adalah konsep sebuah Karnaval. Sebab, karnaval bukanlah parade ‘fashion’atau macak cantik-cantikan dan ganteng-gantengan. Cosplay yang bukan memenuhi hasrat orang agar bisa meniru artis-selebritis.

Dan yang kurang lagi adalah penampakan pahlawan yang memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Atau mungkin sudah dibingkai acarnya bertajuk “karnaval budaya” (cultural carnival)? Tapi ingat, ini adalah acara Bulan Agustus yang bingkai besarnya adalah Peringatan Hari Besar Nasional Kemerdekaan yang ke-79. Seharusnya jangan ditinggalkan nuansa nasionalisme-patriotisme: Tampilan pahlawan, tampilan para pejuang, teatrikal jalanan tentang kekejaman penjajah Jepang dan Belanda, dll.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *